Program Studi Manajemen UII

Mengelola Atasan: Seni Membangun Hubungan Kerja yang Efektif

Pada Tahun 1980, ada artikel menarik yang ditulis dua Profesor Manajemen dari Harvard yang diberi judul “Managing your boss”. Artikel ini lalu dimuat ulang di Harvard Business Review Edisi Spring 2016. Di Harvard Business Review, sudah lazim artikel tententu yang membahas isu penting yang dianggap relevan dimuat ulang pada edisi berbeda, beberapa tahun atau bahkan dekade setelahnya. Lalu apa isi dari artikel yang ditulis oleh Dua Profesor tersebut?

Dahulu, Ketika ilmu manajemen lahir, bertumbuh pemahaman umum bahwa untuk bisa mencapai kinerja terbaik organisasi, diperlukan adanya pembagian peran yang jelas antar pekerja, termasuk siapa yang berwenang mengelola dan siapa yang dikelola. Yang berwenang mengelola ini, kita menyebutnya sebagai manajer, yang dalam perannya bertugas salah satunya untuk mengelola orang, dan yang dikelola ini adalah pekerja atau bawahan. Sehingga dalam hal ini, mengelola bawahan adalah tugas manajer. Namun, apakah benar hanya manajer yang memiliki tanggung jawab mengelola? Atau, mungkin, bawahan, dalam kapasitasnya, juga memiliki peran dalam mengelola orang, termasuk atasan mereka sendiri?

Inilah yang disoroti dua Profesor tadi. Konsep “mengelola atasan” bisa jadi terdengar aneh dan kontradiktif. Mungkin bahkan sedikit terdengar manipulatif dan politis. Kenapa bawahan harus mengelola atasan? Bukannya atasan yang harus mengelola bawahan? Bukankah bawahan tidak dibayar untuk mengelola atasan? Kenapa kok kemudian menjadi tanggung jawab bawahan untuk bisa mengelola atasan? Bagi Sebagian orang, pertanyaan semacam itu mungkin muncul karena lazimnya pada kebanyakan organisasi, garis instruksi bersifat dari atas ke bawah (top-down), yang artinya atasanlah yang mengelola dan mengintruksikan bawahan, bukan sebaliknya.

Lalu, apa maksud sebenarnya dari dua Profesor tadi yang menyiratkan dari judul tulisannya bahwa bawahan pun harus mengelola atasan? Menurut dua professor tersebut, keberhasilan organisasi salah satunya tergantung pada terbangunnya hubungan konstruktif antara atasan dan bawahan. Jika hubungan ini tidak mampu terbangun, dampaknya akan buruk ke organisasi. Menurut mereka, meskipun atasan memiliki tanggung jawab utama untuk mengelola bawahan dan memastikan komunikasi efektif demi tujuan organisasi, realita seringkali berbeda. Tidak semua bawahan beruntung memiliki atasan dengan kapabilitas manajerial yang ideal. Setiap atasan memiliki latar belakang, kepribadian, dan gaya kepemimpinan yang unik, yang bisa menjadi tantangan tersendiri dalam dinamika hubungan di tempat kerja.

Untuk itu, dalam pandangan kedua Profesor ini, bawahan pun perlu mengelola atasan dan bersikap aktif untuk memastikan hubungan kerja yang efektif dengan atasan. Ini tak berarti bahwa bawahan bersikap manipulatif atau berusaha mengambil alih peran atasan, tapi lebih tentang proaktivitas yang konstruktif. Karena itu, baik atasan maupun bawahan harus saling memahami—mulai dari kebutuhan, prioritas, hingga gaya kerja masing-masing. Dinamika kerja bukanlah proses satu arah di mana hanya manajer yang mengelola. Sebaliknya, bawahan juga harus proaktif, menyesuaikan pendekatan mereka sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan atasan.

Dalam teori kepemimpinan, ada teori yang menuntut seorang pemimpin untuk bisa melakukan penyesuaian pendekatan dan gaya kepemimpinan sesuai dengan kondisi yang dihadapi, bukan semata berdasarkan kecocokan dan preferensi pribadinya. Ini berarti seorang pemimpin harus berani keluar dari zona nyaman, bahkan mungkin bertindak layaknya impostor. Terkadang, seorang pemimpin mungkin harus melepaskan sebagian otentisitas dan karakteristik dirinya demi bereksperimen dan menemukan strategi terbaik dalam mengelola organisasi yang dipimpinnya.

Seorang teman yang kebetulan bekerja di salah satu Perusahaan ternama di negeri ini, pernah berbagi kisahnya tentang hari-harinya sebagai seorang manajer. Dia mengaku kadang merasa seperti “impostor” di depan timnya. Terkadang, dia merasa setiap kata dan keputusan yang dibuatnya, terasa seperti sebuah pertarungan internal antara menjadi diri sendiri dan memenuhi ekspektasi orang lain. Namun, dia menyadari bahwa otentisitas bukanlah tentang menunjukkan siapa dia dan kuasanya, tetapi tentang menemukan keseimbangan antara menjadi diri sendiri dan memenuhi harapan orang lain.

Bawahan, sebagaimana atasan, juga memiliki peran penting dalam dinamika hubungan di tempat kerja. Mengelola atasan bukan berarti tunduk tanpa prinsip atau berupaya bertindak manipulatif. Sebaliknya, ini tentang bereksperimen, mencari pendekatan terbaik untuk bekerja dengan maksimal demi kepentingan organisasi. Kadang, bawahan juga harus berani melepaskan sedikit otentisitas diri, menjadi “impostor”, demi pembelajaran dan pertumbuhan pribadi. Apapun posisi dan peran kita di organisasi, pada akhirnya, kita semua adalah kanvas yang terus dilukis, yang setiap goresan-goresannya memperindah dan menyempurnakan.

Share this :

WhatsApp
Facebook
Twitter
Abdur Rafik, S.E., M.Sc.

is a lecturer and researcher at the Department of Management, Faculty of Business and Economics, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. His teaching interests are Finance Management, Investment Management, and Islamic Finance

Gagasan Lainnya

Tips Berkomunikasi Efektif dengan Dosen:

Norma perilaku mahasiswa saat menghubungi dosen dan staf adalah pedoman berkomunikasi yang mengutamakan kesopanan, penggunaan bahasa formal, pengenalan diri yang jelas, komunikasi pada jam kerja, penyampaian tujuan dengan ringkas, dan penantian balasan dengan sabar. Mahasiswa juga diharapkan untuk selalu menutup komunikasi dengan ucapan terima kasih, mencerminkan rasa hormat dan profesionalisme dalam lingkungan akademik.

Read More »

Mengelola Atasan: Seni Membangun Hubungan Kerja yang Efektif

Pada Tahun 1980, ada artikel menarik yang ditulis dua Profesor Manajemen dari Harvard yang diberi judul “Managing your boss”. Artikel ini lalu dimuat ulang di Harvard Business Review Edisi Spring 2016. Di Harvard Business Review, sudah lazim artikel tententu yang membahas isu penting yang dianggap relevan dimuat ulang pada edisi berbeda, beberapa tahun atau bahkan dekade setelahnya. Lalu apa isi dari artikel yang ditulis oleh Dua Profesor tersebut?

Read More »

Asal-Usul Kapitalisme: Eropa, China, dan Arab

Arab Islam sebagai kapitalisme religius atau kapitalisme perdagangan jelas berbeda. Kedua jenis kapitalisme tersebut ditemukan jauh sebelum kapitalisme (industri) di Eropa. Kapitalisme perdagangan amat bisa jadi lebih dekat karakteristiknya dengan kapitalisme industri.

Read More »