Asal-Usul Kapitalisme: Eropa, China, dan Arab

Asal-Usul Kapitalisme: Eropa, China, dan Arab

Menyatakan bahwa Arab Islam sebagai kapitalisme religius atau kapitalisme perdagangan jelas berbeda.  Kedua jenis kapitalisme tersebut ditemukan jauh sebelum kapitalisme (industri) di Eropa.  Kapitalisme perdagangan amat bisa jadi lebih dekat karakteristiknya dengan kapitalisme industri.  Tetapi kapitalisme religius Arab Islam terlihat jelas memiliki perbedaan penting yang lebih banyak.  Disamping ada kesamaan dalam moda akumulasi kapital melalui pasar, laba, dan pengakuan pada hak milik, kapitalisme religius memiliki komponen keadilan, etika, dan sekaligus melibatkan negara dan masyarakat.  Pasar, negara, dan masyarakat memiliki peran strategis yang seimbang dalam mengatur sistim ekonomi kapitalisme.  Kapitalisme bukan hanya dimiliki oleh kaum kapitalis saja.

Polemik utamanya terkait dengan waktu kelahiran: dari yang paling populer sekaligus sangat Eropa-sentris pada akhir abad delapan belas atau sembilan belas sampai pada kemungkinan waktu yang lebih pada awal yakni pada abad enam belas (Wallerstein, 1974).  Bahkan juga ditemukan dan kini semakin mendapatkan ruang akademik yang lebih luas yakni mencoba menelusuri kelahirannya sampai pada masa-masa jauh sebelumnya misalnya terkait dengan kapitalisme perdagangan pada masa imperium Ottoman dan Arab Islam serta China (Anievas dan Nisancioglu, 2013;  Banaji, 2007, 2003;  Rodinson, 2007).  Jangan coba bertanya soal masa depan kapitalisme.  Dipastikan ditemukan ragam jawaban yang jauh lebih banyak sekaligus kompleks dan amat bisa jadi saling bertentangan:  dari yang memprakirakan keabadiannya dengan siklus ekonomi pasang surut sampai pada kemungkinan digantinya dengan sistim yang lain – sosialisme atau sistim lain yang kini belum dapat diketahui.

Variabel penjelas munculnya polemik tersebut dapat bervariasi.  Salah satunya karena adanya variabel idoelogi.  Setidaknya itulah yang dinyatakan secara jelas oleh Kocka (2010: 8-10) bahwa orang enggan bergulat dan bergelut bahkan menolak menggunakan terma kapitalisme karena dinilainya “….too ideological, partisan, and not sufficiently scientific.”  Bahkan dikatakan lebih jauh bahwa “Sometimes “capitalism” became the explanation for everything bad in the world,” dan oleh karena itu tidak heran jika kemudian makna konsep kapitalisme menjadi tambah luas terkesan tidak berbatas karena mengalami inflasi dan terbebani berbelebihan sebagai tertuduh (overcharged).  Beban menjadi tertuduh ini tidak sebatas dijumpai di negara-negara Barat, tetapi juga banyak dijumpai di negara sedang berkembang, apalagi jika negaa-negara tersebut sedang berada dalam krisis ekonomi atau ketika ketimpangan ekonomi terlihat begitu menonjol.  Akibatnya tidak heran jika kemudian “Its analytical power sometimes disappeared behind its polemical use in political-ideological battles.” Sebagian diantara mereka ada yang memilih sikap yang terkesan lebih lunak dengan berusaha sekeras mungkin menghindari menggunakan terma kapitalisme atau “….. by treating it with suspicion or outright hostility.”

Namun demikian ini tidak berarti bahwa tema kapitalisme dengan segala cabang pembahasannya sama sekali tidak dijenguk oleh akademisi.  Ada saja yang merelakan (sebagian) energi yang dimiliki untuk mengenali ulang tema yang oleh Polanyi (1957) disebutnya sebagai “the Great Transformation” itu.  Kelahiran kapitalisme dinilai sebagai pembatas tirai yang membedakan antara masa sebelum dan sesudahnya.  Dikatakan oleh Kocka (2010: 10-11) bahwa berakhirnya Perang Dingin membawa akibat pada perubahan positif iklim akademik, setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir.  Kapitalime tidak lagi ditempatkan pada posisi paling tepi dan hina, tetapi kini terbuka kemungkinan untuk menilai kapitalisme dengan nada dan konotasi yang positif, terutama sebagai konsep dan pisau analisa akademik.  Dikatakannya lebih lanjut bahwa “….. it is much less a flag or a political signal than it used to be for decades,” sampai-sampai ada yang menulis tentang variasi “the happy version of capitalism.” .

Iklim kondusif itu terlihat begitu nyata ketika ditemukan begitu banyak cendekiawan yang dengan sungguh-sungguh menguji ulang tentang sejarah kelahiran dan perkembangan kapitalisme, sekalipun disana-sini masih ditemukan gugatan yang setengah hati.  Pertama, gugatan diajukan untuk tidak sepenuhnya melihat kelahiran kapitalisme sebagai khas fenomena Eropa, tetapi justru merupakan fenomena dunia: kapitalisme dapat lahir di mana saja.  Kedua, usaha mengkaji ulang juga ditujukan untuk tidak mengkaitkan sebab kelahiran kapitalisme semata-mata pada faktor industrialisasi dan Revolusi Industri.  Perdagangan dan revolusi komersial, kemudian, diajukan sebagai penyebab lahirnya kapitalisme perdagangan, yang telah berlangsung jauh lebih awal.

Akibatnya, dan ini yang pokok, kapitalisme kini dinyatakan tidak (saja) lahir pada abad delapan belas atau awal sembilan belas melainkan juga telah ditemukan pada masa jauh sebelumnya – disekitar abad 8 M dalam konteks Arab Islam – yang mewujud dalam kapitalisme perdagangan.  Perlu ada pembedaan yang tegas tentang kelahiran kapitalisme industri di Eropa dan kapitalisme perdagangan yang lahir di tempat lain: Asia dan Timur Tengah. Kelahiran kapitalisme kini menempati posisi sebagai salah satu bidang kajian akademik yang begitu subur.

Salah satu muara terpenting dan signifikan dari gugatan itu adalah munculnya pemahaman baru bahwa pada masa Islam awal, kurang lebih pada akhir abad 7M atau awal abad 8M, kapitalisme perdagangan telah lahir dan berkembang berlanjut sampai pada abad 17M (Banaji, 2016: 207-221\;  2007;  Cizakca, 2011;  Hick, 2006;  Goitein, 1968: 217-380;  Moore dan Lewis, 2000;. Rodinson, 2007).  Kapitalisme perdagangan itu dapat dikatakan unik khas pada masa Islam, bahkan ada yang menyatakan bahwa embrionya telah mulai terlihat sejak masa Arab Kuno (Bryce, 2014; Hoyland, 2002;  Ibrahim, 1982;  Muhammad, 2017).  Tidak heran jika digambarkan oleh Hodgson (1970: 99) bahwa sampai dengan abad 17M “….. the Islamicate society that was associated with the Islamic religion was the most expansive society in the Afro-Eurasian hemisphere and had the most influence on other societies. This was in part because of its location, but also because in it were expressed effectively certain cultural pressure – cosmopolitan and egalitarian (and anti-traditional) – generated in the older and more central lands of this society.  In this world role, the Islamicate society and culture demonstrated persistent creativity and growth.”

Share this :

WhatsApp
Facebook
Twitter

menempuh pendidikan Master of Arts in Strategic Management (M.A) di University of Hawaii, setelah sebelumnya memperoleh gelar sarjana (Drs.) dari Universitas Islam Indonesia. Ia memiliki minat mengajar pada mata kuliah Manajemen Strategis. Topik riset yang menjadi interesnya adalah Manajemen Strategis

Gagasan Lainnya

Mengelola Atasan: Seni Membangun Hubungan Kerja yang Efektif

Pada Tahun 1980, ada artikel menarik yang ditulis dua Profesor Manajemen dari Harvard yang diberi judul “Managing your boss”. Artikel ini lalu dimuat ulang di Harvard Business Review Edisi Spring 2016. Di Harvard Business Review, sudah lazim artikel tententu yang membahas isu penting yang dianggap relevan dimuat ulang pada edisi berbeda, beberapa tahun atau bahkan dekade setelahnya. Lalu apa isi dari artikel yang ditulis oleh Dua Profesor tersebut?

Read More »

Asal-Usul Kapitalisme: Eropa, China, dan Arab

Arab Islam sebagai kapitalisme religius atau kapitalisme perdagangan jelas berbeda. Kedua jenis kapitalisme tersebut ditemukan jauh sebelum kapitalisme (industri) di Eropa. Kapitalisme perdagangan amat bisa jadi lebih dekat karakteristiknya dengan kapitalisme industri.

Read More »

Lesson Learned From The Covid-19 Pandemic: Employee Empowerment As A Key In Service Businesses

In Indonesia, 2 March 2020 denoted the ‘official’ date for the first case of Covid-19. The Covid-19 pandemic stood an immense challenge for the Indonesian government and citizens. Particularly for business sectors, the data from Statistics Indonesia (BPS) in 2020 showed that more than 90% of service businesses earned less and more than 85% mentioned that business demands decreased during the pandemic.

Read More »

Media Sosial Kami